Julio Best Setiyawan

Julio Best Setiyawan
Rider !!

Minggu, 08 November 2015

KEMUNGKINAN UMR KABUPATEN SEMARANG 2016 dan PP NO. 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN MERUGIKAN KAUM BURUH

PP NO. 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN MERUGIKAN KAUM BURUH WAJIB DITOLAK







Sudah ada 5 (lima) paket kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Kelima paket kebijakan ekonomi itu dimaksudkan untuk memperbaiki iklim investasi dan iklim usaha ditengah melambatnya angka pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar dollar AS yang semakin melonjak.
Dimana dalam paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah itu disamping melakukan deregulasi dan debirokratisasi atau menyederhanakan perijinan, juga memberikan banyak insentif dan keringanan terhadap pengusaha dan para calon investor.
Disamping ijin yang semakin disederhanakan juga diberikan insentif pajak, subsidi listrik dan seabreg fasilitas dan keringanan untuk para pengusaha. Cuma sayangnya dari kelima paket kebijakan ekonomi itu tidak ada satupun yang menguntungkan bagi kaum buruh atau masyarakat pekerja. Terakhir isu mengenai disahkannya Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan jelas tambah merugikan bagi kaum buruh. PP No. 78 tahun2015 tentang Pengupahan itu dinilai sangat merugikan kaum buruh, maka tidak mengherankan sejak masih menjadi RPP Pengupahan mendapatkan banyak resistensi atau perlawanan dari kalangan buruh.
Kalangan serikat pekerja/serikat buruh menganggap bahwa dengan keluarnya PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan tersebut menjadi bukti nyata bahwa Pemerintahan Jokowi-JK tidak mempunyai keberpihakan terhadap pekerja/buruh.
Padahal terpilihnya Jokowi-JK menjadi Presiden RI mengalahkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tidak terlepas dukungan dari kalangan buruh. Bahkan Ketua Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI) Propinsi Jawa Barat Roy Jinto Ferianto, SH menilai bahwa apabila pemerintah memaksakan diri untuk menetapkan RPP Pengupahan menjadi PP Pengupahan maka itu sama saja artinya dengan melakukan pemiskinan terhadap buruh secara sistematis.
“RPP Pengupahan itu harus ditolak karena akan memiskinkan buruh secara sistematis”, ungkap Roy Jinto saat ditemui disela-sela Rapat Koordinasi PP SP TSK SPSI di Hotel Augusta Sukabumi pada tanggal 20 Oktober 2015 yang lalu.
Apa yang disampaikan oleh Roy Jinto tersebut sangat beralasan karena kenaikan upah minimum dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang disusun oleh pemerintah tersebut itu menutup peluang bagi buruh untuk mendapatkan upah yang layak, karena kenaikan upah minimum tidak lagi didasarkan pada hasil survey Kebutuhan Hidup Layak tapi hanya didasarkan pada formula upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi tahun berjalan dan tingkat pertumbuhan produk domestic bruto tahun berjalan.
“Sehingga dengan menggunakan formula tersebut rata-rata kenaikan upah minimum tiap tahunnya hanya dikisaran 9 – 10% setiap tahunnya”, kata Jinto dengan sedikit nada kesal.
Penilaian yang hampir sama juga disampaikan oleh Ketua PC SP TSK SPSI Kabupaten Purwakarta, Heri Dwi Lukman yang juga hadir dalam Rapat Koordinasi PP SP TSK SPSI di Hotel Augusta Sukabumi beberapa waktu lalu.
‘Formula penetapan upah minimum yang dirancang pemerintah dalam RPP tentang Pengupahan jelas-jelas sangat merugikan kaum buruh dan karenanya harus ditolak karena itu akan memiskinkan kaum buruh, dan celakanya lagi pembahasan mengenai RPP Pengupahan itu tidak melibatkan serikat pekerja/serikat buruh”, kata Abah panggilan akrab Heri Dwi Lukman dengan penuh semangat.
Pada kesempatan yang berbeda, Ketua PC SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi Moch Popon mengungkapkan bahwa sikap pemerintah Jokowi-JK yang ingin memaksanakan PP pengupahan diberlakukan tahun ini hanya untuk memuaskan pengusaha sementara menyusahkan bagi kaum buruh.
Semestinya pemerintah melakukan kajian yang matang dulu dengan melibatkan serikat pekerja dan serikat buruh untuk menerapkan formula pengupahan yang tepat, jangan tergesa-gesa karena menyangkut nasib jutaan buruh. Apalagi saat ini proses atau tahapan survey Kebutuhan Hidup Layak/KHL oleh dewan pengupahan di hampir semua kabupaten/kota sudah berjalan, dan itu kan sudah menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan yang tidak kalah pentingnya juga sudah menghabiskan anggaran yang rata-rata bersumber dari APBD.
Kalau sampai PP Pengupahan ini diberlakukan itu artinya hasil survey KHL dewan pengupahan di kabupaten/kota tidak digunakan, dan ujung-ujungnya juga hanya pemborosan karena buang-buang anggaran semntara hasil kerjanya tidak digunakan.
“Apabila dilihat dari sisi perencanaan dan asas ‘good governance’ atau tata kelola pemerintahan yang baik, kalo PP tentang Pengupahan ini dipaksakan untuk diberlakukan tahun ini jelas tidak tepat”, ungkap Mohamad Popon kepada Swara Buruh Sukabumi.
Pada sisi lain Popon juga menilai ada hal yang kurang tepat apabila yang menjadi latar belakang keluarnya RPP Pengupahan ini adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan banyaknya keluhan pengusaha yang merugi dan menutup perusahaannya sehingga menimbulkan banyak PHK.
Kalau itu yang dijadikan salah satu alasan pemerintah untuk memberlakukan PP tentang Pengupahan, kayaknya Presiden Jokowi menerima informasi yang salah karena menurut Popon isu terjadinya PHK besar-besaran itu tidak benar dan tidak berdasar. Kalau datanya diambil dari buruh yang mencairkan Jaminan Hari Tua/JHT, jelas data itu sangat menyesatkan.
Karena membludaknya buruh yang mencairkan JHT bukan karena mereka di PHK tapi karena aturannya yang memungkinkan mereka untuk mencairkan JHT walaupun mereka tidak di PHK, tapi masa kepesertaan mereka sudah mencapai 5 (lima tahun), sehingga mereka dimungkinkan untuk mencairkan JHT. Jadinya data ratusan ribu buruh di PHK itu jelas data yang menyesatkan.. Walaupun memang diakui, bahwa secara factual ada beberapa perusahaan yang tutup itu bukan melulu soal upah tapi karena salah urus atau miss manajemen, dan beberapa persoalan lain diluar upah.
Lebih lanjut juga Popon menjelaskan bahwa memang benar saat ini ada beberapa sektor usaha yang sedang lesu karena faktor fluktuasi nilai tukar dollar AS terhadap rupiah dan juga karena perlambatan pertumbuhan ekonomi, tapi itu hanya untuk beberapa sektor saja tapi tidak untuk semua sektor. Malahan untuk sektor-sektor yang orientasi produknya ekspor seperti garmen dan alas kaki/sepatu justeru diuntungkan dengan fluktuasi nilai tukar dollar AS yang tinggi terhadap rupiah tersebut.
Bayangkan para pengusaha di sektor garmen dan sepatu yang orientasi ekspor itu mereka dibayar sama buyer-nya dengan dollar AS, sementara bayar upahnya dengan rupiah, bayar listriknya dengan rupiah, bayar bahan bakarnya dengan rupiah, bayar distribusi sampai pelabuhannya juga sama rupiah, bayar biaya operasional lain di dalam negeri juga sama rupiah, apalagi bayar atau beli bahan bakunya pake rupiah ya jelas tambah untung.
Dan kalau toh pun beli bahan bakunya masih pake dollar AS sekalipun pengusaha itu masih untung. Dengan kondisi sebelum paket-paket kebijakan ekonomi itu dikeluarkan oleh Jokowi (5 paket kebijakan ekonomi dikeluarkan –red) pengusaha pada sektor-sektor yang orientasinya ekspor itu seperti garment dan sepatu kondisinya masih untung, apalagi ditambah dengan paket-paket kebijakan ekonomi yang semuanya hampir menguntungkan pengusaha, jelas pengusaha semakin untung dan dinina-bobokan.
Bayangkan saja dengan paket kebijakan itu pengusaha disamping bisa menerapkan kebijakan upah murah, pengusaha juga dapat fasilitas, diskon dan seabreg keringan dari pemerintah seperti dalam bentuk insentif pajak, bea masuk, subsidi listrik, penyederhanaan perijinan dan sebagainya.
Sekarang ditambah lagi dengan PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, jelas pengusaha semakin diuntungkan karena bisa menerapkan kebijakan upah murah. Padahal sebenarnya dengan tanpa PP No. 78 Tahun 2015 ini saja jelas pengusaha sudah diuntungkan dengan kebijakan obral insentif dan obral fasilitas yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Presiden Jokowi kelihatannya menerima informasi yang keliru sehingga beliau memaksakan diri untuk mengeluarkan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan”, jelas Popon dengan nada serius.
Pada bagian akhir juga Popon mengakui bahwa untuk jangka panjang PP tentang Pengupahan ini bisa saja diberlakukan untuk memberikan kepastian bagi para pelaku usaha tapi dengan syarat pemerintah harus terlebih dahulu memberlakukan upah layak nasional.
Sehingga upah daerah satu dengan daerah lain tidak terlalu jomplang bedanya. Kalau saat ini dipaksanakan diberlakukan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan jelas akan membuat disparitas upah antar daerah semakin jomplang, dan itu akan menimbulkan resiko-resiko sosial dan ekonomi karena bisa terjadi migrasi industri secara besar-besaran dari daerah-daerah industri perkotaan ke daerah-daerah baru dipinggiran yang upahnya rendah.
“Dan kalau itu terjadi maka apa yang dilakukan pemerintah tidak menyelesaikan masalah, karena pemerintah ibaratnya menyelesaikan satu masalah tapi menimbulkan banyak masalah yang lain yang resikonya jauh lebih besar”, pungkas Popon yang juga sebagai salah satu Ketua PP FSP TSK SPSI tersebut.
Terkait Formula Kenaikan Upah Minimum (UM) yangg diamanatkan pasal 44 ayat 2, maka kenaikan UM hanya ditentukan 3 variabel yaitu UM tahun berjalan, Inflasi Nasional dan PDB Nasional. Sementara variabel KHL tidak digunakan. Adapun variabel KHL hanya digunakan setiap 5 tahun sekali seperti yang diamanatkan pasal 45 ayat 3. Dari isi Pasal 45 ayat 3 dinyatakan gubernur menetapkan UM setelah adanya peninjauan KHL setiap 5 tahun sekali. Berarti di tahun pertama hingga ke lima kenaikan UM ditentukan rumus formula sedangkan tahun keenam (yaitu setelah komponen KHL ditinjau ulang 5 tahun sekali) maka UM ditentukan gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dewan pengupahan provinsi. Ketika UM ditentukan oleh 3 variabel dengan menggunakan formula maka yang menentukan kenaikan UM adalah BPS, bukan Gubernur. Gubernur hanya mementukan UM setiap 5 tahun sekali. "Ini sesat pikir, yang tentunya bertentangan dgn amanat pasal 89 ayat 3 UU 13/2003 yang memberikan kewenangan menentukan UM kepada gubernur. Dalam penjelasan Pasal 44 ayat 3 dinyatakan perhitungan UM pada dasarnya sama dengan nilai KHL. "Menurut saya penjelasan ini tidak benar karena KHL hanya ada 60 komponen saat ini sehingga hanya 60 komponen itu yang dihitung perubahan harganya, sementara inflasi yang ditentukan BPS didasari pada perhitungan seluruh barang dan jasa yang ada. Ini tidak obyektif bila KHL disamakan dengan inflasi,

Rumus upah buruh mulai 2016 :UMP tahun depan = UMP tahun berjalan + ( UMP tahun berjalan x(inflasi + pertumbuhan ekonomi)) รจ 1.419.000+( 1.419.000 X (0.64+5)/100 ) = 1.419.000+ 80.031 UMK 2016 adalah Rp.1.499.031



Demonstrasi buruh selalu mewarnai menjelang penetapan upah minimun provinsi tanggal 1 November karena UMP itu akan berdampak pada upah buruh di kabupaten/kota dan upah sundulannya.

Walaupun sudah ada landasan penetapan, yaitu berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL), pada Sidang Dewan Pengupahan, perwakilan buruh akan meminta besaran lebih tinggi, sementara pengusaha berupaya menekan upah di bawah besaran KHL. 

Selama ini buruh menggugat jumlah komponen KHL yang hanya 60 item, padahal kebutuhan buruh lebih dari itu. Serikat pekerja menuntut 84 item kebutuhan yang dihitung dalam survei KHL.

Hampir di setiap daerah muncul aksi demontrasi yang tidak semua bebas kekerasan. Ada aksi memaksa buruh keluar dari pabrik untuk ikut demontrasi, ada massa yang bentrok dengan petugas keamanan, ada mogok kerja, bahkan pernah ada aksi menurup tol sehingga menganggu akses ekonomi dan sosial masyarakat.

Tampaknya itulah yang menjadi dasar Pemerintah pada tanggal 23 Oktober 2015 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Peraturan pemerintah baru itu ingin membuat penetapan upah menjadi sesuatu yang berjalan mulus dengan formula yang dipastikan membuat upah selalu naik setiap tahun.

Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan bahwa formula upah minimum pada PP No. 78/2015 itu memperhitungkan persentase inflasi dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, inilah yang menjadi ukuran apakah ada pertumbuhan ekonomi atau tidak.

Formula kenaikan upah itu dihitung dengan rumus "upah minimum yang baru = upah minimum saat ini + {upah minimum x (persentase inflasi + persentase pertumbuhan produk domestik bruto yang sedang berjalan)}".



Pasti Naik 
Peraturan Pemerintah Pengupahan yang mulai berlaku untuk UMP tahun 2016, ternyata memang memastikan adanya kenaikan upah karena dengan formula baru paling tidak UMP 2016 lebih tinggi 12 persen dari UMP 2015 dengan asumsi diperkirakan inflasi tahun ini sekitar 6,5 persen dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,5 persen. 

Misalnya, Upah Minimum Kota Yogyakarta 2016 yang ditetapkan berdasarkan PP Pengupahan ternyata lebih tinggi daripada upah yang ditetapkan berdasarkan survei kebutuhan hidup layak.

Sekretaris Dewan Pengupahan Kota Yogyakarta Rihari Wulandari mengungkapkan bahwa Pemerintah menetapkan nilai inflasi sebesar 6,83 persen dan pertumbuhan domestik bruto sebesar 4,67 persen. Dengan patokan UMK Yogyakarta 2015 sebesar Rp1.302.500,00 per bulan, UMK Yogyakarta 2016 mencapai Rp1.452.287,50/bulan.

"Angka itu lebih baik dibanding menggunakan formula lama yang ditetapkan Dewan Pengupahan," katanya tanpa mau menyebut besaran angka UMK yang dihasilkan Rapat Dewan Pengupahan Kota Yogyakarta pada tanggal 19 sampai 23 Oktober 2015.

Namun, untuk DKI Jakarta, Dewan Pengupahan telah menetapkan KHL 2015 sebesar Rp2,98 juta. Dengan asumsi inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang totalnya 11 persen, UMK 2016 menjadi Rp2,98 ditambah Rp357 ribu, yaitu Rp3,33 juta. KHL 2015 itu besarannya naik 14,2 persen atau Rp441.826 dibandingkan tahun 2014 yang hanya Rp2.538.174,00.

Jadi, jika menggunakan formula baru, UMK DKI 2016 justru menurun, yaitu besaran UMK 2015 sebesar Rp2,7 juta ditambah Rp357 ribu (asumsi total inflasi dan pertumbuhan 12 persen). Artinya, angka yang dicapai hanya Rp3,057 juta. 

Jadi, ada daerah yang diuntungkan dengan formula baru. Akan tetapi, ada juga yang dirugikan. Semua itu tergantung pada kenaikan angka KHL dan besaran upah minimum tahun sebelumnya, selain dari faktor inflasi dan pertumbuhan yang ditetapkan pemerintah pusat.

Bagaimana dengan daerah yang upahnya masih di bawah KHL?



Empat Tahun

Hanif Dhakiri mengatakan bahwa seluruh Provinsi Indonesia harus penuhi besaran KHL, yang menjadi dasar dalam penentuan upah minimum yang baru sehingga nanti yang belum sesuai maka diberikan waktu empat tahun untuk menyamakan dengan KHL.

"Nanti, pada tahun kelima akan dilakukan evaluasi komponen KHL, yang saat ini masih berlaku yaitu 60 item. Ukuran evaluasi lima tahun ini karena menurut Badan Pusat Statistik (BPS), perubahan pola konsumsi masyarakat terjadi dalam setiap lima tahunan," katanya

Ia mengungkap bahwa masih ada delapan daerah yang upah buruhnya belum memenuhi KHL, yaitu Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku utara, NTB, NTT, dan Papua Barat.

"Daerah-daerah itu diwajibkan untuk memiliki road map atau rencana terstruktur untuk memenuhi KHL-nya," katanya.

Jika pada saat ini daerah itu hanya bisa memenuhi 92 persen, kata dia, delapan persen harus bisa diselesaikan paling lama empat tahun. "Kita beri kesempatan mengejar dulu upah yang sama dengan KHL setelah itu perhitungannya ikut formula yang baru," katanya.

Peraturan Pemerintah Pengupahan itu sendiri merupakan tindak lanjut dari Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV yang dikeluarkan pada hari Kamis (15/10). Bidang lain yang masuk paket itu adalah pengembangan kredit usaha rakyat (KUR) dan pengembangan ekspor oleh pelaku UMKM dengan dukungan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

"Peraturan Pemerintah Pengupahan akan langsung diterapkan tahun 2015, artinya UMP 2016 sudah akan ditetapkan menggunakan formula baru tersebut," katanya.

Ia menegaskan bahwa Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV yang menyentuh buruh itu akan membuat perusahaan tidak perlu lagi "pusing" memikirkan kenaikan upah secara mendadak karena adanya formula pengupahan sehingga bisa fokus meningkatkan kesejahteraan pekerja melalui dialog bipartit.

Selain itu, kebijakan baru itu akan bisa menggeser perjuangan pekerja dari sebelumnya menuntut upah minimum menjadi memperjuangkan upah layak dan hak-hak pekerja lainnya yang mungkin diabaikan perusahaan.

Pemerintah juga berupaya tidak hanya mengamankan upah minimum, tetapi juga meminta setiap perusahaan wajib memiliki struktur dan skala upah yang jelas, artinya ada besaran yang berbeda pada setiap tingkatan manajemen, serta faktor lain, seperti pendidikan, kompetensi, dan prestasi atau produktivitas.

"Struktur dan skala upah ini penting untuk sehatnya bisnis perusahaan dan melindungi kepentingan para pekerja," kata Hanif Dhakiri.

Bagi perusahaan yang tidak memiliki struktur dan skala upah yang jelas, Pemerintah akan memberikan sanksi berupa sanksi administratif hingga pembekuan perusahaan. Sebaliknya, Pemerintah juga akan memberikan penghargaan atau "reward" kepada perusahaan yang taat aturan pengupahan.



Pro dan Kontra 

Keluarnya PP No. 78/2015 itu mengudang aksi pro dan kontra. Sebagian besar pengusaha justru menyambut baik usulan itu karena mereka akan dengan mudah menentukan besaran biaya tenaga kerja untuk satu tahun ke depan. Sementara itu, serikat pekerja sebagian besar justru menolak itu yang ditandai aksi demontrasi di sejumlah kota.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mendukung kebijakan pemerintah karena menguntungkan pengusaha dan pekerja.

"Upah buruh akan naik secara proporsional sesuai dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Pengusaha juga mudah menghitung besaran biaya tenaga kerja," katanya.

Ia menegaskan bahwa selama ini kenaikan upah buruh sering di luar prediksi pengusaha dan selalu ditetapkan mengikuti tekanan buruh melalui demontrasi.

Menurut Hariyadi, UMP adalah jaring mengaman sosial, artinya baru menghitung upah paling bawah kepada buruh, sementara pengusaha juga harus memikirkan juga upah sundulannya.

"Jadi, kalau kita hitung kenaikan UMP dan upah sundulan, sebenarnya tiap tahun kenaikan upah bisa sebesar 12 persen," katanya.

Sejumlah konfederasi serikat pekerja justru menolak PP Pengupahan tersebut karena mereka tidak pernah diajak rembukan untuk menentukan formula yang tidak merugikan pekerja. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan bahwa formula kenaikan upah minimum yang tercantum pada PP No. 78/2015 itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Iqbal mengatakan bahwa undang-undang mengatur penetapan upah minimum dilakukan oleh kepala daerah berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan yang terdiri atas perwakilan pengusaha, buruh, dan pemerintah, baru kemudian mempertimbangkan faktor inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan regresi.

"Jadi, bukan ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui PP tanpa dirundingkan dengan serikat pekerja. Dengan diberlakukannya PP ini, upah buruh akan naik paling tinggi hanya 10 persen dan berlaku selama puluhan tahun sehingga berdampak pada pemiskinan secara sistemik," tuturnya.

Ia menilai PP Pengupahan itu lebih menguntungkan pengusaha dan belum tentu formula itu membuat upah buruh Indonesia bisa sejajar dengan negara lain.

"Upah minimum di Thailand saat ini Rp3,5 juta, Tiongkok Rp3,9 juta, bahkan Filipina Rp4,2 juta. Sementara itu, upah minimum rata-rata Indonesia hanya di kisaran Rp2 juta. Jakarta sebagai ibu kota negara saja, upah minimum buruhnya hanya Rp2,7 juta," katanya.

Dengan formula yang hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi saja, Iqbal memperkirakan kenaikan upah buruh di Indonesia hanya dalam kisaran 10 persen, bahkan bisa lebih kecil.

Iqbal juga menuntut agar komponen KHL diubah dari hanya 60 butir menjadi 84 butir sehingga lebih mencerminkan kebutuhan layak yang sebenarnya.

Sebagai bentuk penolakan, terjadi demontrasi oleh serikat pekerja di Ibu Kota dan sejumlah daerah khususnya di kawasan industri.

Said Iqbal menyatakan aksi buruh akan dilakukan setiap hari, baik di Istana Kepresidenan maupun di kawasan-kawasan industri se-Indonesia, seperti Pulo Gadung, Cakung, MM 2100, Jababeka, KICC Karawang, Ngoro Sidoarjo, PIR Pasuruan, KIM Medan, dan Cikupa Tangerang.

Buruh juga akan menggelar mimbar rakyat pada tanggal 29 Oktober dan pada tanggal 30 Oktober 50.000 anggota KSPI dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) akan melakukan aksi di Istana Presiden.

"Sepanjang November aksi buruh akan dilakukan di kantor bupati- wali kota dan gubernur, kawasan industri dan pelabuhan. Puncaknya, pada bulan Desember, lima juta buruh di 200 kabupaten/kota akan melakukan mogok nasional," katanya.

Buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Upah menggelar aksi di sejumlah tempat menolak pemberlakuan PP Pengupahan.

Aksi-aksi buruh itu juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena saat ini kekuatan buruh lebih solid dan militan dibanding 10 atau 15 tahun yang lalu. Pemerintah harus segera mengambil sikap, jangan sampai aksi-aksi penolakan buruh itu berlangsung masif di sejumlah daerah sehingga berpotensi melemahkan upaya pemulihan ekonomi.

Alangkah baiknya kajian soal upah buruh juga bercermin dari besaran upah di negara lain sehingga ada kesejajaran upah antarnegara di ASEAN, apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN akan mulai berlaku 1 Januari 2016. Buruh Indonesia juga harus sama sejahteranya dengan buruh-buruh dari negara lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar