Penerapan
Balance Scorecard Pada Perusahaan
Berdasarkan pertanyaan dari rekan Choirul
Anam, di tulisan sebelumnya pada blog ini “Empat Prespektif Dalam Penerapan Balance Scorecard”,tentang bagaimana menerapkan Balance Scorecard
pada perusahaan atau organisasi yang profit oriented, maka untuk menjawab
pertanyaan tersebut, akan saya coba untuk memaparkan disini, semoga mampu
memberikan gambaran dan keterangan yang memuaskan. Dan tentunya saya ucapkan
terima kasih terlebih dahulu kepada rekan Choirul Anam yang telah sudi mampir
dan membaca tulisan-tulisan di blog ini, sekaligus saya minta maaf karena baru
bisa memberikan jawaban atas pertanyaan anda saat in.� Yang perlu kita pahami bersama agar mencapai kesamaan persepsi
bahwa “Balance Scorecard” adalah sebuah “Strategi” hal ini muncul bukan serta
merta, diawali dalam studi yang dilaksanakan oleh Kaplan dan Norton (1992)
terhadap 12 korporasi, didapat sebenarnya bahwa korporasi tersebut telah
mengadopsi scorecard. Kapalan dan Norton melihat ada kelemahan kepada
pengukuran kinerja yang dapat menonjolkan pencapaian tujuan� secara terpisah, bahkan cenderung kompetitif yang pada akhirnya
mengakibatkan konflik korporasi.
Lalu Bagaimana balanced scorecard ditinjau
dari sistem manajemen strategik perusahaan? Di dalam sistem manajemen strategik (strategic
management system), ada 2 tahapan penting, yaitu tahapan perencanaan dan
implementasi. Posisi balanced scorecard awalnya berada pada tahap implementasi. Fungsi
balanced scorecard di sini hanya sebagai alat ukur kinerja secara komprehensif
kepada para eksekutif dan memberikan feedback tentang kinerja manajemen.� Dampak dari keberhasilan penerapan balanced scorecard memicu para eksekutif untuk menggunakan
balanced scorecard pada tahapan perencanaan strategik. Mulai saat itu, balanced
scorecard tidak lagi digunakan sebagai alat pengukur kinerja namun berkembang
menjadi strategik management sistem. Strategi korporasi diturunkan dan Visi dan
Misi. Demikian penting peran strategi, sehingga� kalau tujuan� korporasi tidak tercapai, maka yang salah adalah strategi.
Whelen (2006) menjelaskan berbagai hal �penyebab kegagalan
penerapan strategi yaitu:
- komunikasi yang sulit antar
staf,
- komitemen manajemen operasional
lemah,
- gagal menerima umpan balik dan
mekanismenya,
- basis perencanaan tidak valid,
formulasi strategi tidak valid,
- perencanaan fungsional tidak
konsisten, dan
- penilaian sumberdaya tidak
konsisten.
Dalam penerapan BSC, ada premis yang secara
implisit didapat yaitu bahwa BSC adalah strategi. Memperhatikan BSC sebagai� pengukuran kinerja mungkin itu adalah hal yang paling mudah
diketahui, �karena masing-masing perspektif yang kemudian
diturunkan mnejadi sasaran fungsinya adalah pengukuran kinerja. Akan tetapi,
bila diperhatikan bagaimana hubungan antara visi, misi dan strategi sebagai
awal daripada penetapan perspektif, dapat terlihat bahwa kaitan masing-masing
perspektif dengan strategi sangat kuat . Hal ini dapat di gambarkan sebagai
berikut :
Pada gambar di atas di jelaskan bagaimana
hubungan dari ke-empat prespektif Balance Scorecard tersebut dalam penerapannya
untuk perusahaan. Balance Scorecard merupakan alat bantu yang diperkenalkan
oleh Kaplan & Norton (1996) yang dapat digunakan untuk menterjemahkan visi
dan strategi perusahaan kedalam 4 perspektif yaitu financial, customer,
internal business process, dan learn and growth perspective.
1.
perspektif keuangan,
sumber atau asset/harta
2.
perspektif kemampuan
dan kerapihan operasional
3.
perspektif
pembelajaran/kualitas pengetahuan bersama
4.
perspektif kualitas
hubungan dengan pihak-pihak terkait di luar organisasinya.
Maknanya adalah bahwa esensi penerapan BSC
bukanlah adanya pengendalian terhadap devisi, akan tetapi setiap devisi satu
korporasi sedemikian rupa akan berinisiasi, menentukan ukuran kinerja dan
mengkaitkannya dengan visi, misi dan strategi korporasi. Dalam hal ini
keunggulan BSC adalah teridentifikasinya� struktur ataupun
kerangka yang ada di korporasi guna mencapai � merealisasikan visi
dan misi korporasi. Penjelasan demikian menegaskan bahwa sebelum BSC dikenalkan
telah banyak dikenal� berbagai program pengukuran yang mengarah
kepada perbaikan:� integrasi antar fungsi, skala global,
perbaikan terus-menerus, tanggung jawab team yang menggantikan peran individu.
Kaplan sendiri menuliskan bahwa penerapan BSC sejalan dengan prinsip semua itu.
Akan tetapi� yang membedakan BSC dengan berbagai konsep
tersebut adalah bahwa pada BSC manajer memahami, setidaknya secara implisit
kaitan antar fungsi. Lebih dari penjelasan itu, BSC juga mengarahkan manajer ke
depan daripada melihat ke belakang. Hal ini mudah dipahami karena 4 perspektif:
keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran danpertumbuhan yang oleh Kaplan digambarkan sebagai perspektif yang
berkaitan satu dengan lainnya. Bahkan dirangkum dalam satu hubungan �cause and effect relationship�. Adapun kaitan
masing-masing perspektif� dapat dijelaskan sebagai berikut
1.
�Perspektif pelanggan. Perspektif ini
menunjukkan seperti apa perusahaan di mata�� pelanggan. Pelanggan
mempunyai kemampuan teknis melihat korporasi dari berbagai sisi: waktu,
kualitas, kinerja dan jasa, dan biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan untuk
memperoleh pelayanan. Dimensi kebutuhan pelanggan demikian pada akhirnya akan
menentukan�� bagaimana perusahaan� dilihat oleh pelanggan. Semakin baik persepsi pelanggan,
semakin baik pula� nilai� korporasi dimata
pelanggan.
2.
Perspektif keuangan.
Pertanyaan yang harus dijawab korporasi di sini adalah bagaimana kita dilihat
oleh pemegang saham baik pada jangka pendek maupun jangka panjang.� Korporasi bisa rugi pada waktu tertentu, akan tetapi� pemegang saham� menyadari bahwa
setelah itu korporasi akan mendapat keuntungan, sehingga dividen akan
diperoleh.� Semakin baik� korporasi dimata
pemegang saham, semakin aman� korporasi memperoleh� sumber modal.
3.
Perspektif proses
bisnis internal. Ukuran ini menunjukkan� dalam proses produksi
seperti apa �korporasi lebih baik. Orientasi kepada
pelanggan memang mutlak, akan tetapi permasalahan bagi manajemen adalah
bagaimana caranya menyiapkan kompetensi yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan
4.
Perspektif pembelajar
dan pertumbuhan. Perspektif ini menunjukkan bagaimana korporasi dapat bertahan
dan kmampu berubah sesuai dengan tuntutan eksternal.
Perhatikan bahwa scorecard (papan nilai)
diturunkan dari visi dan strategi. Hal ini menjadi kunci yang secara implisit
mengingatkan bahwa perusahaan sesungguhnya digerakkan oleh visi dan misi.
Bilamana visi dan misi dinyatakan dengan baik maka ini akan menjadi �mesin� penggerak semua kegiatan. Visi dan misi yang
terformulasi oleh Kaplan dinyatakan dengan 4 perspektif seperti di atas.
Menurut Kaplan, terjemahan visi untuk masing-masing perspektif di atas haruslah
diuji dengan masing-masing kriteria yaitu: 1) sasaran, 2) ukuran, 3) sasaran, dan 4) inisiatif. Keempat
perspektif ini mempunyai ciri sebagai berikut. Penterjemahan visi dan misi ke
dalam 4 perspektif di atas menunjukkan adanya satu siklus:� keuntungan perusahaan hanya dapat tumbuh bilamana perusahaan� mempunyai posisi di benak pelanggan (share value), sementara� posisi di benak pelanggan hanya mungkin bila perusahaan
mempunyai proses belajar. Satu hal yang sangat nyata dari hubungan yang
ditunjukkan oleh Kaplan adalah bahwa satu dengan lainnya saling berhubungan.
Dalam bukunya yang terakhir (Strategy Map) Kaplan menunjukkan berbagai cara
empiris. Selanjutnya Kaplan secara jitu menjelaskan bagaimana pentingnya intangible asset sebagai rangkaian pencapaian tujuan. Dari ke
empat perspektif sebagaimana dikemukakan di atas, Kaplan (1996) juga
menjelaskan bahwa� posisi persfektif seperti diatas berorientasi
ke depan, bukan ke belakang. Hal ini terlihat dalam penentuan sasaran yang
diimplementasikan melalui perumusan inisiasi yang akan digunakan.
Ambil contoh penerapan Balance Scorecard pada
sebuah Rumah Sakit, dan pada gambar dibawah ini merupakan penggambaran visi
pada tiap-tiap bidang yang tertuang dalam Konsep Business sebuah Rumah Sakit
dengan menggunakan Balances Scorecard, dimana masing-masing visi ini mendukung
tercapainya visi utama :
Keunggulan BSC dalam hal ini diakui oleh para
peneliti bahwa BSC menyajikan satu kerangka logis yang terstruktur yang
mengakibatkan setiap devisi perusahaan dapat berinisiasi aktif untuk menentukan
kinerja. Akan tetapi penentuan kinerja ini bagaimanapun harus diikuti dengan
menentukan strategi yang dibutuhkan untuk� mencapai sasaran yang
telah ditentukan. Berkaitan dengan hal ini, Kaplan dalam wawancaranya dengan
Lagace (2008) menjelaskan tantangan penerapan strategi menjadi operasional: 1) banyak perusahaan menerapkan berbagai program seperti TQM, Six
Sigma, dan lain-lain, tetapi gagal mencatat bagaimana perbaikan organisasi
terjadi bersamaan dengan program demikian; 2) perencanaan anggaran
dan pembiayaan lepas dari strategi, maka apa yang diperoleh senantiasa tidak
menjadi ukuran yang dapat diterima.
Yang paling sulit adalah untuk menyepakati
ukuran apa yang dijadikan keberhasilan satu perusahaan, karena didalamnya
selalu ada unsur konflik antar bagian. Adapun 4 perspektif yang dikemukakan
oleh Kaplan sesungguhnya haruslah diikuti pemahaman mendalam saat perencanaan
strategis dimulai. Pemahaman ini harus dimulai dari identifikasi yang sesuai
sehingga dapat ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan �serta ukuran yang akan diterapkan. Dalam hal ini adapun konsep
pengukuran kinerja menjadi bermanfaat, karena penyusun strategi akan� dapat menentukan.� Hendrick (2004)
menunjukkan� kendala penerapan BSC (1)� sedikit� pemeriksaan tentang faktor yang berkaitan dengan
pengadopsian BSC, dan� (2)� masih dibutuhkan
keyakinan bahwa dengan pengadopsian� BSC akan berdampak
kepada kinerja keuangan. Selanjutnya melaporkan bahwa kunci daripada penerapan
BSC adalah :
1.
Keterlibatan
kepemimpinan senior
2.
Mengartikulasi visi
dan strategi perusahaan
3.
Mengidentifikasi
kategori kinerja yang menghubungkan visi dan strategi terhadap hasil
4.
Terjemahkan papan
nilai kepada tim, devisi, dan tingkatan fungsi
5.
Kembangkan pengukuran
yang efektif dan standar yang berarti (jangka pendek dan panjang, memimpin, dan
tertinggal)
6.
Kenakan penganggaran
yang tepat, Teknologi Informasi, Komunikasi , dan sistem imbal jasa
7.
Melihat BSC sebagai
proses kontinius, membutuhkan perbaikan,� penilaian ulang, dan
pemutakhiran, dan ;
8.
Percaya bahwa BSC
sebagai fasilitator perubahan kultur dan organisasi.
�Komitmen pimpinan puncak tetap saja menjadi kata kunci, karena� hanya dengan adanya komitmen itulah organisasi dapat bergerak.
Satu hal yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen adalah mengakomodasi hal-hal
yang umum dalam satu industri, akan tetapi bagaimanapun satu perusahaan harus
dapat mengakomodasi hal yang menurut mereka spesifik bagi industri ataupun
perusahaan dimana mereka berada.� Akhirnya bahwa dalam� mengimplementasi� BSC pada awalnya
merupakan papan nilai yang dinilai seimbang antar berbagai perspektif untuk
menentukan� keberhasilan satu organisasi ataupun
perusahaan. Permasalahan ini menjadi krusial bukan saja karena ini menyangkut� banyak hal, akan tetapi karena dengan adanya ukuran yang
seimbang diharapkan bahwa� capaian dan kinerja satu organisasi dapat
berkelanjutan (sustainable). Apa yang harus dicatat dari berbagai
publikasi Kaplan dan Norton bahwa untuk mengimplementasikan BSC sekalipun
dibutuhkan strategi.� Sehingga, dapat diketahui bahwa dalam BSC
sangat dinyatakan bahwa rancangan strategi implementasi mutlak dilaksanakan.
Hal ini merupakan koreksi terhadap keleamahan strategi pada umumnya.
Demikian semoga tulisan ini bermanfaat, dan
terima kasih kepada para sumber-sumber tulisan ini.
Daftar Pustaka :
1.
De Waal. A.A. 2003. The future of the Balanced Scorecard an
interview with Professor Dr. Robert, S. Kaplan, Measuring Business Excellece, pp. 30-35.
2.
Hendricks, K. et.all.
2004. The Balance Scorecard: To adopt or not to adopt,� Invey Business
Journal, www.iveybusinessjournal.com
3.
Johanes, Dr� Balance Scorecard, Konsep dan Implemantasi.
johanessimatupang.wordpress.com; 2009
4.
Johanson, U. et.al.
2006. Balancing dilemmas of the balanced scorecard,� Accounting,
Auditing & Accountability Journal, Vol. 19 No. 6, 2006, pp. 842-857
5.
�Kaplan, R.S., dan Norton, David P. 1992. The Balance Scorecard Measures That Drive
Perfomance, Harvard Business
Review, January-February 1992
6.
______ , 2004. Alignment: Using the Balanced Scorecard to
Create Corporate Synergies. Harvard Business
School.
7.
______ , 2006. Strategy Maps, Converting Intangible Assets
Into Tangible Outcomes. Harvard Business
School.
8.
_______, 2007. Using the Balanced Scorecard as a Strategic
Management, Harvard Business
Review, July �August
9.
�Kaplan, R.S. 1993. Implementing the Balanced Scorecard at FMC
Corporation, an Interview with Larry D. Brady, Harvard Business Review
10.
Sinha, A., 2006. Balanced Scorecard: A Strategic Management Tool.�Commerce, Vidyasagar University J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar